Generasi TCK Mencari Jati Diri Leluhur

  • Breaking News

    Friday, May 9, 2025

    Transformasi Melayu Kuno, Klasik ke Melayu Modern dan Batak


    Bahasa Melayu Kuno yang berkembang pada masa keemasan Sriwijaya adalah salah satu bentuk awal dari rumpun bahasa Austronesia, cabang Melayu-Polinesia, khususnya kelompok Sumatra Barat Laut. Bahasa ini menjadi bahasa istana, perdagangan, dan keagamaan di wilayah Nusantara bagian barat selama berabad-abad. Namun perjalanan bahasa ini tak hanya berakhir pada pembentukan bahasa Melayu modern seperti di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura, melainkan juga melahirkan bahasa-bahasa etnis seperti Batak Toba, Karo, Gayo, dan lainnya yang tumbuh di pedalaman.

    Bahasa Melayu Kuno yang berakar dari Sriwijaya memiliki karakteristik fonetik, morfologis, dan sintaksis yang pada akhirnya berkembang berbeda tergantung wilayahnya. Di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya, bahasa ini tumbuh menjadi bahasa Melayu Klasik. Sementara di daerah pegunungan dan pedalaman barat Sumatera, bahasa tersebut berkembang menjadi varietas bahasa Batak dan Gayo yang merupakan bagian dari kelompok Sumatra Barat Laut dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.

    Salah satu turunan penting dari kelompok ini adalah bahasa Batak Toba. Berdasarkan klasifikasi linguistik, Batak Toba berada dalam sub-rumpun Batak Selatan, kelompok Tobanik, dari rumpun Sumatra Barat Laut–Kepulauan Penghalang. Meski kini berbeda jauh dari bahasa Melayu modern, jejak Melayu Kuno masih dapat ditemukan dalam kosakata dasar dan struktur tertentu dalam bahasa Batak.

    Bahasa Gayo dan Alas, yang juga berkembang di daerah dataran tinggi Aceh, menunjukkan jejak serupa. Bahasa-bahasa ini berkembang dari cabang awal Melayu Kuno, namun karena berada di luar jalur perdagangan utama, mereka tidak terpengaruh oleh perkembangan bahasa Melayu Klasik yang terjadi di wilayah pesisir dan kerajaan-kerajaan Islam.

    Perbedaan ini menjadi semakin tajam saat kerajaan-kerajaan seperti Samudera Pasai, Barus, dan Melaka menjadi pusat perdagangan internasional dan penyebaran agama Islam. Di tempat-tempat ini, bahasa Melayu digunakan sebagai alat dakwah dan perdagangan, sehingga terbuka terhadap pengaruh bahasa Arab, Persia, dan Tamil. Hal ini menciptakan bentuk baru yang lebih terbuka dan kosmopolitan: bahasa Melayu Klasik.

    Barus, sebagai salah satu pelabuhan tertua di Sumatera, menjadi pintu masuk banyak unsur asing dalam kosakata Melayu. Di sisi lain, Samudera Pasai memperkenalkan penggunaan aksara Arab-Melayu atau Jawi, serta menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa keagamaan dan intelektual Islam yang tersebar luas hingga ke Pattani dan Melaka.

    Puncak perkembangan bahasa Melayu Klasik terjadi pada masa Kesultanan Melaka. Di bawah pengaruh Melaka, bahasa Melayu menjadi lingua franca kawasan Asia Tenggara. Bahasa ini digunakan dalam administrasi, perdagangan, hingga karya sastra berbentuk hikayat, syair, dan pantun. Pada masa ini pula lah lahir bentuk awal dari sastra Melayu klasik.

    Riau-Lingga kemudian menjadi pusat baru pengembangan bahasa Melayu setelah kejatuhan Melaka. Dari sini, bentuk standar Melayu klasik diwariskan dan menjadi dasar pengembangan bahasa Melayu di Malaysia dan Brunei, serta menjadi cikal bakal bahasa Indonesia modern setelah dipilih dalam Sumpah Pemuda 1928.

    Menurut Rani Siti Fitriani dkk. dalam Ensiklopedia Bahasa dan Sastra Klasik (2021), sastra Melayu klasik adalah sastra lisan yang disebarkan dari mulut ke mulut. Hal ini membuat setiap cerita dapat mengalami perubahan isi dan gaya tergantung ingatan serta pemahaman pengisahnya. Karya-karya seperti Hikayat Raja Pasai, Hikayat Hang Tuah, dan Syair Abdul Muluk adalah contoh dari sastra jenis ini.

    Di sisi lain, sastra Melayu modern muncul ketika penyebaran karya tidak lagi mengandalkan tradisi lisan. Berdasarkan publikasi Peran Sastra Melayu dalam Pembentukan Karakter Bangsa bagi Generasi Milenial melalui Sosial Media (2020), sastra Melayu modern tidak lagi terikat oleh adat istiadat dan mulai disebarkan melalui media tertulis seperti buku dan platform digital.

    Bahasa Melayu modern saat ini mencakup beberapa versi resmi: Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu Malaysia, Bahasa Brunei, dan Bahasa Melayu Singapura. Meskipun memiliki dasar yang sama, setiap negara mengembangkan bentuk standardisasi yang berbeda, menyesuaikan dengan kebutuhan nasional dan kebijakan linguistiknya.

    Sementara itu, bahasa-bahasa yang berasal dari cabang Melayu Kuno non-pesisir seperti Batak Toba, Karo, dan Gayo tetap hidup sebagai identitas suku. Bahasa-bahasa ini tidak menjadi lingua franca dan tidak mengalami modernisasi dalam skala besar, namun mereka tetap terpelihara secara aktif di komunitas masing-masing.

    Masyarakat Proto Melayu yang mendiami pedalaman Sumatera dan wilayah barat laut kepulauan ini memainkan peran penting dalam mempertahankan bentuk asli dari bahasa Melayu Kuno. Mereka berbeda dengan kelompok Deutro Melayu yang menetap di wilayah pesisir dan lebih terbuka pada interaksi budaya luar.

    Fenomena ini menciptakan dua arah perkembangan dari bahasa Melayu Kuno: satu yang mengerucut menjadi bahasa lokal yang unik seperti Batak Toba dan Gayo, dan satu lagi yang berkembang secara regional dan transnasional menjadi bahasa Melayu modern.

    Dengan demikian, perjalanan bahasa Melayu dari masa Sriwijaya hingga ke era modern memperlihatkan betapa dinamisnya bahasa sebagai produk sosial dan politik. Ia tidak hanya membentuk identitas komunitas, tetapi juga mencerminkan arus besar peradaban Asia Tenggara.

    Dibuat oleh AI, lihat info lainnya

    No comments:

    Post a Comment


    Galeri

    Ekonomi

    Budaya