Jakarta – Polemik ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat kembali memanas usai rapat kerja Komisi II DPR bersama Mendagri Tito Karnavian. Sorotan utama jatuh pada fakta bahwa lebih dari 70% daerah di Indonesia masih mengandalkan dana transfer dari pusat. Hanya empat provinsi tercatat memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas 60%: DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sisanya? Bergantung pada suntikan APBN saban tahun.
Dalam kondisi ini, muncul gagasan untuk merevolusi sistem fiskal nasional. Pemerintah pusat disarankan memberi keleluasaan penuh bagi provinsi, kabupaten, dan kota untuk mengelola sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) secara mandiri, dengan pengecualian untuk urusan pertahanan, agama, dan moneter. Ini bukan sekadar otonomi administratif, melainkan otonomi fiskal yang utuh.
Langkah ini akan memaksa setiap daerah untuk mengandalkan potensi lokalnya. Daerah dengan kekayaan tambang dan perkebunan akan cepat tumbuh menjadi kawasan ekonomi mandiri, sementara wilayah yang minim SDA ditantang untuk membangun dengan inovasi, teknologi, dan jasa. Tak ada lagi mental tunggu dana pusat.
Menariknya, ketika negara terus menambal sulam proyek ketahanan pangan nasional yang belum juga berhasil, justru ada contoh kemandirian yang lahir alami dan bertahan ratusan tahun: Suku Badui. Tinggal hanya 160 kilometer dari Jakarta, komunitas ini menjalani hidup mandiri tanpa intervensi dari pemerintah pusat.
Suku Badui bahkan secara terang-terangan menolak campur tangan negara dalam urusan mereka. Mereka mengatur pola hidup, pertanian, dan pangan dengan sistem adat yang berkesinambungan. Tanpa program food estate, tanpa triliunan rupiah, tanpa kementerian dan birokrasi, Badui membuktikan bahwa kemandirian adalah soal kesadaran, bukan anggaran.
Ironis, pemerintah menganggarkan Rp 139,4 triliun untuk ketahanan pangan pada tahun 2025. Tapi proyek-proyek besar seperti food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, terbukti gagal. Guru Besar Pertanian IPB, Dwi Andreas Santoso, bahkan menyebut seluruh proyek itu gagal. Uang mengalir, hasil tak muncul.
Sementara itu, Suku Badui tetap panen, tetap makan, tetap hidup, dan tetap lestari. Mereka tidak butuh APBN. Mereka tidak perlu data BPS untuk mengatur panen. Mereka hidup dengan prinsip “cukup” dan “berdaulat atas tanah sendiri”. Bukankah itu seharusnya jadi pelajaran?
Ini memperlihatkan bahwa kunci kemandirian bukan di Jakarta, bukan pada anggaran, tetapi pada sistem dan kepercayaan. Ketika daerah diberikan ruang untuk mengelola dirinya, maka akan tumbuh kesadaran lokal yang berakar pada potensi masing-masing.
Maka, sudah saatnya kita mengubah paradigma fiskal. Daripada menguras APBN untuk menghidupi semua daerah secara seragam, pusat sebaiknya menjadi regulator dan fasilitator, bukan sponsor tetap. Semua pendapatan pajak dan retribusi di daerah seharusnya langsung masuk ke APBD, bukan ke kas pusat.
Pemerintah pusat bisa tetap mengambil 20-30 persen dari pendapatan daerah sebagai kontribusi nasional. Tapi selebihnya, daerah berhak penuh atas pengelolaan kekayaannya. Ini bukan hanya adil, tetapi juga efisien. Pusat tak perlu lagi menanggung beban anggaran daerah yang tidak produktif.
Langkah ini juga akan memicu kompetisi sehat antarwilayah. Daerah akan berpacu untuk meningkatkan pelayanan publik, menarik investasi, dan mengelola SDM-nya secara optimal. Tidak ada lagi alasan menyalahkan pusat saat pembangunan tersendat.
Apakah ini berarti daerah miskin akan tertinggal? Tidak. Justru dengan skema ini, daerah yang selama ini minim perhatian pusat akan memiliki insentif untuk maju. Mereka akan didorong untuk menemukan keunggulan komparatif masing-masing, seperti sektor pariwisata, ekonomi kreatif, atau pertanian lokal.
Lebih jauh, desentralisasi fiskal ini akan mendorong efisiensi anggaran dan memperkuat sistem pengawasan internal. Korupsi dan pemborosan anggaran bisa ditekan jika masyarakat daerah merasa memiliki dan mengawasi anggarannya sendiri. DPRD dan elemen masyarakat sipil harus dilibatkan aktif.
Penting juga untuk menciptakan payung hukum yang kokoh agar pelimpahan kewenangan ini tidak menimbulkan kekacauan. Perlu ada standar nasional dan sistem audit yang transparan agar setiap daerah tetap berjalan dalam koridor akuntabilitas publik.
Kita tidak bisa terus menggantungkan masa depan bangsa pada Jakarta. Sudah waktunya membangun Indonesia dari daerah, dari desa, dari kampung, dari komunitas-komunitas seperti Badui yang sudah menunjukkan cara hidup yang berdikari.
Negara terlalu besar untuk ditarik dari satu pusat. Sudah saatnya kekuasaan fiskal menyebar. Jika Suku Badui saja bisa mandiri dalam keterbatasan dan menolak intervensi, mengapa kabupaten dan provinsi dengan sumber daya besar tidak bisa?
Saatnya berhenti berpikir bahwa dana pusat adalah solusi. Saatnya memberi kepercayaan pada daerah untuk tumbuh. Saatnya belajar dari Badui: bahwa hidup cukup dan berdaulat atas tanah sendiri adalah bentuk ketahanan paling hakiki.
Dibuat oleh AI, baca info terkait
No comments:
Post a Comment