Generasi TCK Mencari Jati Diri Leluhur

  • Breaking News

    Saturday, April 15, 2023

    Sejarah Kesultanan Inderapura, Sumatera Barat, dan Hubunganya dengan Tuan Ibrahimsyah dan Dinasti Sisingamangaraja

    Ibukota Inderapura
    Bahasa Minang, Melayu, Sanskerta
    Agama Dari Buddha berubah menjadi Islam
    Pemerintahan Monarki
    Sejarah  
     - Didirikan 1347
     - Invasi Belanda 1792

    Kerajaan Inderapura adalah suatu kerajaan yang berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang, bersamaan batasnya dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung.

    Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas sama sekali mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

    Kerajaan ini pada masa jayanya mencakup wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara mencapai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada, dan juga emas.


    Wilayah kerajaan Inderapura
    Daftar isi
    1 Kebangkitan
    2 Perekonomian
    3 Penurunan
    4 Pemerintahan
    5 Wilayah kekuasaan
    6 Kebangkitan Kembali Kesultanan Inderapura
    7 Daftar Raja Inderapura
    8 Inderapura dalam fiksi
    9 Rujukan
    10 Bacaan lebih lanjut
    11 Tautan luar

    Kebangkitan

    Salah satu makam raja Inderapura
    Inderapura dikenal juga sbg Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama masa zaman ke-15, beberapa daerah pada daerah pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.[1]

    Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Aliran perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian akbar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.[1]

    Kapan akuratnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak dikenal dengan pasti. Namun diperkirakan, ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan masa zaman keenam belas didorong usaha penanaman lada ketentuan yang tidak boleh dilampaui selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.

    Saat Kesultanan Aceh melaksanakan ekspansi mencapai wilayah Pariaman. Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan selang Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura,[2] dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan daya ekonominya Inderapura mendapat pengaruh akbar di Kotaraja (Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan perlintasan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Dunia pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlanjut selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya sebab pertentangan dengan para ulama di Aceh.

    Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 mencapai 1588 salah seorang yang masih bersesuaian dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong,[3] sebelum hasilnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[1]

    Perekonomian

    Sesuai laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sbg suatu kerajaan yang makmur dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditi beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Akbar sekitar tahun 1624, VOC sukses menciptakan akad dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa harus merapat dulu di pelabuhan, serta dimerdekakan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap melaksanakan pelabuhan bebas sama sekali cukai dalam mendorong perekonomiannya.[1]

    Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan Aceh, mencapai tahun 1637 Inderapura tetap tidak dapat mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah didapat pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melaksanakan konsolidasi daya, yang kesudahan dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.

    Penurunan

    Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sbg panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Sebab itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya dipergunakan untuk mengekspor lada lewat Banten.

    Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkatkan menjadi raja menggantikan Raja Puti.

    Di bawah pengganti Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan Ratu Tajul Dunia pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (VOC).[1] 

    Dominasi VOC diawali saat Sultan Muhammad Syah menanti pertolongan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662.

    Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Benar yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura sesuai sistem matrilineal. Dampaknya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kesudahan Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-tangani akad yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.[4] 

    Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali membaik, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Benar sbg wakilnya yang bermarkas di Manjuto.[5][1]

    Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kesudahan menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kesudahan melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian,[6] sesuai catatan Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk EIC.[7]

    Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya bibit ketidakpuasan rakyatnya atas pelaksanaan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah berpulang dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya.[8] Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di Pulau Cingkuak, sbg reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan dan sukses mengendalikan Inderapura.

    ------
    Catatan: Salah satu anak dari Sultan Muhammad Syah adalah Tuan Ibrahimsyah yang kemudian pergi ke arah Sumatera Utara sekarang bersama seribu pasukannya.

    Di Silindung atau Tarutung di Tapanuli Utara dia mendamaikan pihak yang bertikai dan mendirikan lembaga Raja Maropat.

    Lalu rombongan pergi ke Bakkara, sekarang di Humbang Hasundutan. Tuan Ibrahimsyh menikah dengan putri setenpat dan melahirkan Sisingamangaraja yang menjadi awal terbentuk dinasti Sisingamangaraja I sampao XII (Menurut Buku Raja-raja Barus).

    Dari Bakkara rombongannya pergi ke Barus, Tapanuli Utara dan menjadi Raja Barus Hilir. Sementara Raja Barus Hukllu dipegang oleh marga Pohan.
    ------

    Inderapura hasilnya benar-benar runtuh pada 1792 saat garnisun VOC di Cairan Haji menyerbu Inderapura sebab pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kesudahan Sultan Inderapura mengungsi ke Bengkulu dan meninggal di sana (1824).[9]

    Pemerintahan

    Secara etimologi Inderapura bersumber dari bahasa Sanskerta, dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada permulaan mulanya adalah daerah rantau dari Minangkabau, adalah daerah pesisir di pantai barat Pulau Sumatera. Sbg daerah rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja[10] kesudahan juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sbg putra Raja Dunia atau Yang Dipertuan Pagaruyung.[11]

    Wilayah kekuasaan

    Pada kesudahan masa zaman ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sbg Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.

    Untuk daerah utara, dikata dengan Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Daerah ini adalah semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.[1]

    Pada daerah bidang selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada permulaan mulanya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.

    Pada penghujung masa zaman ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sbg kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan ronde terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sbg penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bekerja mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.[1]

    Walau pada tahun 1691 daerah Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura dan menjadi kerajaan sendiri, yang pada permulaan mulanya didukung oleh Inggris. Namun tidak lama berselang ia mangkat dan digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Gulemat (1691-1716). Sultan Gulemat tidak sukses menjadikan daerah itu stabil dan kesudahan juga kehilangan dukungan dari para menteri yang benar pada daerah tersebut.[12]

    Kebangkitan Kembali Kesultanan Inderapura

    Setelah seabad lebih Kesultanan Inderapura bagai tinggal nama, tidak benar seorang sultan atau raja pun yang dinobatkan untuk menduduki singgasana. Kerajaan yang berjaya di dunia Minangkabau ini pernah menguasai daerah sepanjang pantai Barat Sumatera di masa lampau. Hari ini, 1 Desember 2012, akurat 101 tahun tiarapnya kesultanan tersebut seiring Istana Inderapura dibakar penjajah masa itu. Pada tahun ke-101 kesultanan tertua di Nusantara menurut Bunda Ratu Kuasa Dunia Kusumadiningrat Dato' Seri Saripah Murliani, geliatnya harus dibangkitkan lagi.
    Tampuk Kesultanan harus di pegang oleh waris yang tertera pada ranji silsilah Kesultanan Inderapura. Pemashuran sang Sultan pun dihelat dengan kemegahan selayaknya suatu kerajaan bermarwah, Ahad (1/12), bertempat di Hotel Grand Ina Muara Padang. Tidak kurang dari 20 raja dan sultan se-Nusantara menghadiri penobatan Youdi Prayogo,SE, ME bergelar Sultan Indera Rahimsyah Daulat Sultan Muhammad Syah sbg Sultan ke-35 setelah pemegang waris ke-34 memasuki uzur, berumur kurang lebih 99 tahun. Bunda Ratu Kuasa Dunia Kusumadiningrat menyebut, sudah saatnya kerajaan ini kerajaan di Nusantara bentuk untuk mengembalikan marwah dan supaya hukum budaya tidak hilang. "Hukum budaya adalah hal penting yang yang harus dipertahankan, bila hukum budaya terkikis karenanya karamlah suatu bangsa," ucapnya kepada wartawan usai perkara penobatan Sultan Inderapura.

    Wanita anggun yang mengenakan mahkota bertatahkan berlian ini menjelaskan, kerajaan dan kesultanan Nusantara yang dari dulu telah memperjuangkan bangsa ini dari cengkeraman penjajah, hal ini perlu dikenal oleh generasi bangsa di masa sekarang supaya nilai hukum budaya dan cara melakukan sesuatu budi yang dibawa kesultanan dan kerajaan tetap menjadi pengaruh kuat untuk kepribadian mereka.

    "Mengapa tidak, dengan hukum budaya dan cara melakukan sesuatu budi karenanya anak negeri akan menjadi pribadi sejati anak Indonesia. Karena, hukum budaya menciptakan mereka punya pekerti yang luhur, berbudi bahasa yang adun, sopan santun, menghormati orang tua dan jujur," ujar Bunda Ratu dalam logat Melayu Malaysia. 

    Lebih lanjut putri asal Kerajaan Melayu Jambi dan berdomisili di Kerajaan Negeri Sembilan Malaysia ini menyebut, carut marut yang dihadapi di Indonesia maupun di negara lainnya tidak lain sebab lunturnya hukum budaya dan cara melakukan sesuatu budi. Korupsi merajalela sebab warga sudah tidak jujur dan amanah. "Berteriak berantas korupsi adalah sia - sia," katanya. 

    Terungkap juga kekecewaan Bunda Ratu terhadap petinggi pemerintahan setempat yang tidak datang dalam prosesi pemashuran tersebut. Tidak terkecuali Gubernur dan Bupati. "Aku sedih, beratkah untuk datang ke helat ini sehingga tidak seorangpun pejabat yang kami undang turut hadir ? Alangkah indah duduk bersama untuk membenahi negeri. Kami tidak akan menandingi pemerintah apalagi bermaksud menggulingkan. Dengan membangkitkan Kesultanan karenanya kita bisa bersama mendirikan negeri adun secara fisik dan moral," tandasnya. 

    Lebih lanjut diistilahkan, kedatangannya juga membawa sejumlah pengusaha asal negeri jiran Malaysia yang berminat untuk berinvestasi. Tetapi dengan ketidakhadiran pejabat seolah itikad adun dari Bunda Ratu tidak mendapat respon. "Aku berniat menemui Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Pesisir Selatan untuk membicarakan probabilitas pebisnis Malaysia untuk investasi di negeri ini," tukasnya.

    Sementara itu Sultan Inderapura yang baru saja dimashurkan mengungkapkan, membangkitkan kembali Kesultanan Inderapura adalah amanah yang saat ini diletakkan di pundaknya. Ia berjanji akan 'membangkit batang terandam' setelah terpuruk sekian lama dimana Hukum budaya Bersendi Syara' Syara' Bersendi Kitabullah telah mulai ditinggalkan. "Selain itu, Istana Inderapura yang telah runtuh juga akan kembali dibangun,"ujar dosen tetap di IAIN Sultan Taha Syaifuddin Jambi ini. Dia juga ungkapkan akan selalu berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Selain menjaga situs - situs yang benar juga dalam rangka pembinaan warga untuk menghargai dan memahami sejarah.

    Daftar Raja Inderapura
    Lihat juga Daftar Raja Inderapura

    Berikut adalah daftar Raja Inderapura:


    Tahun Nama atau gelar Catatan dan kejadian penting
    1550 Sultan Munawar Syah
    Raja Mamulia  
    1580 Raja Dewi Nama lainnya adalah Putri Rekna Candra Dewi 1616 Raja Itam  
    1624 Raja Akbar  
    1625 Raja Puti Nama lainnya Putri Rekna Alun 1633 Sultan Muzzaffar Syah
    Raja Malfarsyah  
    1660 Sultan Muhammad Syah Raja Benar menuntut hak yang sama.
    1691 Sultan Mansur Syah Sultan Gulemat putra Raja Benar bermarkas di Manjuto melepaskan diri dari Inderapura.
    1696 Raja Pesisir  
    1760 Raja Pesisir II  
    1790 Raja Pesisir III  

    Inderapura dalam fiksi

    Hulubalang Raja, novel karangan Nur Sutan Iskandar yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1934, diantaranya menceritakan pemberontakan rakyat Inderapura terhadap Sultan Muhammadsyah yang terjadi tahun 1662. Menurut kisah ini, pemberontakan tersebut terpicu oleh ulah istri Sultan Muhammadsyah yang membunuh saudara Raja Adil.[13]

    Rujukan

    1. ^ Kathirithamby-Wells, J. (1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century". Indonesia 21: 65–84. 

    2. ^ Iskandar, T., (1966), Bustanu's-Salatin, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

    3. ^ Lombard, D., (2006), Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, ISBN 979-9100-49-6.

    4. ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.

    5. ^ Daghregister, February 17, 1664, p. 48.

    6. ^ Helfrich, O. L., (1923), De Adel van Bengkoelen en Djambi (1892-1901), Adatrechtbundels, XXll:Gemengd, 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, pp. 316-319.

    7. ^ Winter, (1874), De familie Daing Mabela., volgens een Maleisch handscbrilt, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. 3, no. 2, pp. 115-121.

    8. ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal of Southeast Asian History 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318. 

    9. ^ Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. 

    10. ^ Translation of the Undang Undang of Moco Moco, by Richard Farmer, Governor of Benkulen (1717-18), in Malayan Miscellanies, 11/13 (1822), pp. 8-9.

    11. ^ Netscher, E., (1850), Verzameling van over1everingen van het rijk van Manangkabau uit het oorspronkelijk Maleisch vertaald, Indisch Archief, II/2.

    12. ^ Kathirithamby-Wells J. et al, (1985), Syair Mukomuko: Some Historical Aspects of a Nineteenth Century Sumatran Court Chronicle, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph No. 13, Kuala Lumpur.

    13. ^ Maman S. Mahayana dkk. Ringkasan dan ulasan novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo, 2007, hal. 50-53

    Bacaan lebih lanjut

    1. Kathirithamby-Wells, J. (April 1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century". Indonesia 21. 

    2. A.A. Navis, 1984, Dunia Takambang Sah Guru, Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers

    3. Puti Balkis Alisjahbana, 1996, Natal ranah nan data. Jakarta: Dian Rakyat

    4. Rusli Amran, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan

    5. Rusli Amran, 1985, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
    Stibe, 1939, Encyclopedie Van Nederlansch Indie. S. Graven Hage: Arsip Nasional

    6. Herwandi, 2003, Rakena: Mandeh Rubiah penerus kebesaran bundo kanduang dalam penggerogotan tradisi, Padang: Museum Adityawarman
    A. Samad Idris, 1990, Payung Terkembang, Kuala Lumpur: Pustaka Budiman

    Tautan luar

    1. http://padangmedia.com/1-Berita/77849-Seabad-Lebih-Tenggelam---Kesultanan-Inderapura-Kembali-Bangkit.html

    2. Blog Profesor Aulia Tasman, Guru Akbar Universitas Jambi http://auliatasman.blogspot.com/2010/08/bab-9-kerajaan-melayu-dan-kerajaan.html

    3. Blog Wawasan Islam oleh Yulizal Yunus, Dosen IAIN Imam Bonjol Padang http://wawasanislam.wordpress.com/2008/04/30/kesultanan-indrapura/

    4. Grup Facebook Kesultanan Inderapura https://www.facebook.com/groups/195373423916363/?ref=ts&fref=ts

    5. Grup Facebook Dukungan Pemugaran Replika Istana Inderapura https://www.facebook.com/groups/IstanoIndopuro/?fref=ts
    cip.cornell.edu The Inderapura Sultanate: The Foundations of Its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Centuries

    edunitas.com

    Sejarah Kesultanan Inderapura menurut portak kabupaten.

    12-2-2018 : Kerajaan Inderapura, Masa Lalu Kejayaan Masyarakat Pesisir

    Selasa, 12 Februari 2018,  08:46:02 WIB -  2945 |  Kontributor : Ir. Erizon, M.T
    Dalam beberapa hari ke depan kita akan mengulas tentang kehebatan kerajaan Inderapura di masa lalu, sebagai bagian dari kisah nyata potensi ekonomi dan budaya rakyat Pesisir Selatan. Adalah disebabkan kekayaan dan kehebatan Pesisir Selatan - lah, maka banyak bangsa bangsa dunia datang ke Pesisir Selatan untuk mencekeram sebagai daerah bawahannya. Ulasan ini akan dibumbui sedikit fiksi di samping non fiksi, agar enak dibaca. Akan ada nama-nama tambahan sebagai bumbu penyedap dan tokoh yang sebenarnya, sebagai upaya untuk menggali fenomena kehebatan masa lalu. Selamat menikmati...

    Inderapura berjarak sekitar 182 km dari Padang, atau sekitar 111 km dari Painan. Inderapura berasal dari kata sanskerta, yang bermakna kota raja. Atau kota para raja. Kota tempat tinggal raja, putri dan para bangsawan. Menjadi seberkas cahaya harapan di pesisir barat, di tengah kehidupan masyarakat yang mulai porak poranda oleh perampok, bajak laut, dan kelompok-kelompok penguasa tua silek, seperti halnya gangguan kelompok Harimau Tambun Tulang di daerah darek, dan kelompok bajak laut simata satu dari arah pesisir Bengkulu. Gangguan keamanan sudah sangat meresahkan. Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang luar biasa, karena intrik istana yang tak berkesudahan. Demikian juga kerajaan Darmasraya di pedalaman juga sudah mulai lemah, ketika kekuatan Raja Kartanegara dari Jawa mengeksploitasinya sebagai penyangga dari serangan Tentara Mongol di utara.

    Kerajaan Inderapura berdiri pada tahun 1347 Masehi, hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Pagaruyung oleh Adityawarman, salah seorang panglima angkatan laut majapahit, anak dari Dara Jingga, putri bangsawan kerajaan Darmasraya. Tepatnya setelah 54 tahun Sangrama Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit di sekitar desa Tarik di Pulau Jawa, atau pada tahun 1293 masehi. Makanya, sering juga disebut bahwa Kerajaan Inderapura, adalah Kerajaan Pagaruyung ujung, walaupun masing-masing berdiri sendiri.

    Kerajaan Inderapura memiliki pasukan berkuda, pasukan perang darat, pasukan perang di laut, adminsitarasi pemerintahan yang baik, serta barisan istana yang megah. Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera dari Padang hingga sungai hurai di selatan. Bebarapa kerajaan kecil bawahannya, seperti Padang, Sungai Nyalo, Airpura, dan Muko muko harus membayar upeti tahunan sebagai tanda sebagai daerah bawahan kerajaan.

    Pasukan berkudanya, atau yang sekarang dikenal sebagai pasukan kavaleri, dikenal tangguh dan memiliki kuda kuda besar dan tegap. Tentaranya terlatih. Memiliki teknik olah kanuragan yang tinggi. Mentor pelatih didatangkan dari Kesultanan Aceh dan guru-guru silat tua di pesisir.

    Pasukannya bisa dengan cepat melintas sampai ke Kerinci untuk mengamankan jalur perdagangan rempah hingga sampai ke pelabuhan Muara sakai. Dan dengan segera pula dapat mencapai Muko-muko untuk menyatakan bahwa Muko- muko adalah bagian tak terpisahkan dari jalur perekonomian Inderapura.

    Demikian pula kapal kapal angkatan laut Kerajaan Inderapura banyak bersandar di Muara Batang Arau, Padang untuk menghalangi ekspansi musuh dari utara, dan sekaligus mengamankan jalur perdagangan pesisir barat. Perwira angkatan laut kerajaan antara lain berasal dari pelarian tentara laut Kerajaan Sriwijaya yang telah lemah dan mulai memudar. Bahkan juga ada bekas pelayar Persia yang menjadi Tentara laut kerjaan Inderapura, setelah mereka berkeluarga dengan salah seorang putri kerajaan.

    Kerajaan Inderapura memiliki perdana menteri dan menteri menteri. Sistem pemerintahan kerajaan Inderapura bersifat kabinet parlementer, sebagai pimpinan tertinggi adalah sultan atau raja. Dan keseharian pemerintahan dilaksanakan oleh mangkubumi atau perdana menteri, dan dibantu oleh menteri nan 20 (rangkayo nan 20) dan para penghulu, yakni 6 di hulu, 6 di tengah, dan 6 di hilir. Pada masa itu, telah ada ahli tata negara, ahli pertanian, ahli pertambangan (emas), ahli pembuat kapal, ahli astronomi, ahli militer, dan ahli perniagaan di Kerajaan Inderapura. Konon, mereka rata-rata pernah belajar di pusat pendidikan pemerintahan terkenal di Nala, India, dan Pagaruyung. 

    Bahkan banyak juga generasi muda dari pelosok pelosok kerajaan Inderapura yang belajar pengobatan dan pembuatan senjata ke Majapahit. Ada yang belajar pengobatan langsung dengan tabib terkenal Majapahit, yakni Ra Tanca pada masa Raja Majapahit, Jayanegara. Karena Jayanegara adalah keturunan Darmasraya dari Dara Petak, maka saat itu banyak putra putra dari kerajaan Inderapura yang belajar di Kota Raja Majapahit. Bersambung......


    Muaro Sakai dan Jejak Kejayaan Maritim di Kesultanan Indrapura

    4 Agustus 2021

    Foto: Dokumentasi Pelabuhan Muaro Sakai 2019 (Johan Septian Puta/ mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

    Oleh: Johan Septian Putra (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

    Kesultanan Indrapura merupakan kesultanan yang terletak di bagian Sumatera Barat, tepatnya di kabupaten Pesisir Selatan yang sekarang. Kesultanan ini pernah berjaya di masanya yang terkenal dengan perdagangan dan kemaritiman yang mencakup dunia internasional dan regional wilayah Sumatera pada abad ke-12 hingga abad ke-19. Karena kekayaan alam yang melimpah, wilayah Indrapura menjadi perhatian dunia internasional, termasuk Belanda, Inggris dan Portugis pernah menyinggahi dan menjajaki wilayah kesultanan Indrapura.

    Kolonial Belanda mengambil alih kekuasaan ekonomi serta Aceh juga pernah ikut menguasai wilayah ekonomi tersebut. Perdagangan dari berbagai wilayah tidak bisa dipungkiri terjadi pada masa Kesultanan Indrapura dahulu, melalui jalur laut dan sungai-sungai pedalaman yang memberikan andil besar bagi para pedagang dalam melanjutkan sistem perekononomian maritim kesultanan dengan para saudagar lainnya. Perdagangan tersebut, tentunya tidak akan berjalan lancar tanpa adanya pelabuhan. Pelabuhan yang ada masa kesultanan Indrapura yang terkenal itu bernama Muaro Sakai yang masih eksis hingga sekarang.

    Pelabuhan Muaro Sakai ini dibangun oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) pada tahun 1800-an sesudah pengunaan oleh kongsi Dagang Belanda bernama HPA, yang saat ini terletak di Kecamatan Pancung Soal yang merupakan salah satu dari 31 jorong yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan. Lokasinya sekitar 160 km dari Kota Painan. Muaro Sakai merupakan daerah dataran rendah berjarak sekitar 10 km dari pesisir pantai. Di daerah ini melintas Batang Indrapura yang mengalir dari Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Secara administrasi, situs reede/pelabuhan Muaro Sakai berada di Kampung Muaro Sakai, Nagari Indrapura, Kecamatan Pancung Soal. Bekas pelabuhan ini berada di pinggir Batang Muaro Sakai atau di pekan Muaro Sakai sekitar 5 km dari kantor Wali Nagari Indrapura. Secara astronomis, bekas pelabuhan ini berada pada posisi 20 04.22,8 LS dan 1000 54.611 15 BT.

    Penyerahan pengelolaan Pelabuhan Muaro Sakai kepada Pemerintah Indonesia dilakukan pada tahun 1950-an dan beraktivitas hingga 1970-an. Untuk mengawasi administrasi pelabuhan tersebut, pihak perhubungan laut menempatkan Syahbandar di bawah koordinasi Administrasi Pelabuhan (Adpel) Teluk Bayur. Setelah itu, pelabuhan ini tidak difungsikan lagi karena beberapa alasan, yaitu pemerintah tidak menggunakan lagi pelabuhan tersebut dalam transaksi maritim pantai Barat Sumatera. Kemudian karena wilayah Muaro Sakai tersebut sering terjadi banjir ke pemukiman warga, maka dari itu pihak perusahaan dari PT Incasi Raya membuat parit-parit kecil hingga menyebarlah peredaran air sungai Muaro Sakai tersebut ke beberapa wilayah tepian pantai Ujung Tanjung. (Yusfa Hendra Bahar dan Fauzan Amril, “Peninggalan Maritim Pantai Sumatera Barat”, Jurnal Amoghapasa, Batusangkar: BP3 Batusangkar, 2009, h. 30).

    Kejayaan dunia maritim dan perdagangan terjadi pada abad ke-17 hingga ke-18 masa Kesultanan Indrapura dari Pelabuhan Muaro Sakai ini mulai dari skala internasional hingga regional. Yang mana Pelabuhan Muaro Sakai adalah pelabuhan khusus bagi orang-orang yang berdagang Kopi dan Teh. Muaro Sakai menjadi strategis karena menjadi tempat bertemunya sungai-sungai besar, seperti Sungai Sindang, Batang Air Luang, Batang Tapan, Batang Air Inderapura (Sungai Betang) dan sungai-sungai kecil lainnya.

    Pantai Barat merupakan lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Selatan dengan wilayah Sumatera dan memiliki akses ke Jawa yang dikenal sebagai Jawa Dwipa. Barang-barang dimasukkan ke kapal dan dibawa ke Padang. Komoditi Teh berasal dari Kayu Aro, sedangkan Kopi dari Batang Berangin Kerinci, komoditi utama Inderapura diperjualbelikan dan dibawa pedagang Inggris, Portugis, dan Belanda, Kerinci, Muaro Labuah, dan Jambi menjadi penyangga Inderapura yang juga menghasilkan komoditi ekspor. Para pedagang manca negara, seperti Cina, Inggris, India, Spanyol melakukan kontak dagang dengan Indrapura. Pada masa dahulu ada yang namanya “pencalang”, atau perahu sebagai alat angkutan pedagang-pedagang dari Nusantara. (Iim Imaduddin dkk, Inderapura: Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2003, h. 47-48).

    Begitu pula, pada awal abad ke-17 M, kapal-kapal besar dari mancanegara sudah berlabuh diperairan Inderapura. Kapal yang sangat popular pada saat itu adalah kapal Bahrul Abyad yang digunakan oleh masyarakat pantai barat Sumatera untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Kapal yang memiliki kapasitas 350 ton ini berasal dari Mesir. Setiap tahun, kapal ini berlayar bolak-balik melewati jalur barat Sumatera kemudian melewati India dan berlabuh di Basrah. Dapat dikatakan selain fungsi pelabuhan Muaro Sakai sebagai bandar dagang di pantai barat Sumatera, pelabuhan tersebut juga dipergunakan untuk pemberangkatan orang-orang yang ingin menunaikan ibadah haji. (Mega Jeli Putri, “Pelabuhan Muaro Sakai di Pantai Barat Sumatera Masa Kesultanan Indrapura”, Skripsi, Padang: Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam
    Bonjol, 2018, h. 48).

    Namun, untuk saat ini pelabuhan tersebut hanya menyisakan puing-puing bangunan yang tidak terurus dan malahan sebagian besar sudah hancur. Pelabuhan yang pernah menjadi jalur perdagangan internasional dahulu, sekarang hanya tinggal kenangan saja. Perlunya perhatian dari pemerintahan setempat dalam melestarikan kembali peninggalan bersejarah dan perlunya dukungan serta upaya kerja keras dari seluruh lapisan masyarakat untuk menjadikannya sebagai warisan peninggalan kebudayaan di wilayah Pesisir Selatan. Tentunya, dengan adanya i’tikad baik tersebut, sehingga akan menjadi pemasukan pendapatan daerah dari jalur wisata dan juga meningkatkan perekonomian warga setempat.

    No comments:

    Post a Comment


    Galeri

    Ekonomi

    Budaya