PAHOMPU NABURJU -- UTANG-PIUTANG merupakan aktifitas yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan banyak orang. Islam membolehkan utang-piutang tapi dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, orang yang ingin berutang hendaklah benar-benar karena terpaksa. Sebab menurut Rasulullah, utang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.
Bahkan beliau pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda, “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (Riwayat Muslim).
Kedua, orang yang berutang hendaknya ada niat yang kuat untuk mengembalikan. Orang yang memiliki niat seperti ini akan ditolong oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi Subhanahu Wata’ala bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah subhanahuwata’aala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Bukhari)
Ketiga, harus ditulis dan dipersaksikan. Dua pihak yang melakukan transaksi utang piutang hendaknya menulis dan dipersaksikan oleh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Surat al-Baqarah [2] ayat 282.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini sebagai petunjuk dari Allah subhanahu Wata’ala jika ada pihak yang bermuamalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlah, waktu dan lebih menguatkan saksi.
Keempat, pemberi utang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang. Hal ini karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya, bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Bahkan dianjurkan memberi penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo. Hal ini berdasar firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 280 serta sabda Rasulullah yang berbunyi, ”Barangsiapa ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (Riwayat Ibnu Majah)
Kelima, orang yang berutang hendaknya segera melunasi utangnya jika sudah mempunyai uang dan memberikan hadiah kepada yang memberi pinjaman. Rasulullah bersabda, “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.” (Riwayat Bukhari).
Setelah itu dianjurkan memberi hadiah. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah mempunyai utang kepada seseorang berupa seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata, “Berikan kepadanya.” Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. Maka Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang).” (Riwayat Bukhari)
Keenam, jika orang yang berutang tidak mampu mengembalikan, boleh mengajukan pemutihan dan juga mencari perantara untuk memohonnya. Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “(Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan utang. Maka aku memohon kepada pemilik utang agar mereka mau mengurangi jumlah utangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Rasulullah meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh.” (Riwayat Bukhari). (*)
(sumber)
Yuk gabung PanPage Facebook Belajar Quran dan Ilu Tafsir atau di sini
No comments:
Post a Comment