Ketika menyaksikan kehancuran Libya, Irak, dan sebagian Suriah, banyak kalangan bertanya apakah negara-negara tersebut bisa selamat andai mereka lebih lihai dalam diplomasi. Namun sejarah memperlihatkan bahwa dalam dunia modern, bukan sekadar diplomasi yang menentukan nasib sebuah negara, melainkan apakah negara itu masuk dalam daftar target untuk direkayasa ulang oleh kekuatan besar di balik skema tatanan dunia baru.
Tatanan dunia baru bukan hanya wacana normatif tentang kerja sama global, tetapi juga sebuah mekanisme dominasi. Dalam struktur ini, negara-negara yang menolak tunduk pada standar ekonomi, politik, dan militer yang ditetapkan oleh kekuatan besar cenderung dicap sebagai ancaman. Setelah itu, berbagai skenario pun dimainkan: mulai dari kampanye delegitimasi, embargo, tekanan diplomatik, sanksi ekonomi, hingga operasi militer terbatas dan penggulingan rezim.
Namun demikian, tidak semua negara berakhir seperti Libya atau Irak. Ada negara-negara yang berhasil keluar dari tekanan atau setidaknya mampu memperlambat proses pembusukan internal. Kuncinya terletak pada bagaimana negara tersebut membaca tanda-tanda geopolitik global dan membangun kapasitas bertahan di berbagai lini: militer, ekonomi, informasi, dan legitimasi domestik.
Pertama, negara harus membangun ketahanan informasi. Di era digital, kekuatan informasi bisa menjadi alat utama untuk menghancurkan negara dari dalam. Serangan tidak lagi berbentuk rudal, tetapi narasi-narasi yang merusak kepercayaan publik pada pemerintah, memecah belah etnis dan agama, serta menciptakan persepsi kegagalan sistemik. Negara yang lemah dalam pengelolaan informasi akan menjadi target empuk bagi perang kognitif.
Kedua, penting untuk membangun aliansi strategis yang bersifat lintas kutub. Mengandalkan satu blok kekuatan besar saja justru berisiko. Negara-negara seperti Turki, Qatar, atau Venezuela mencoba menjaga keseimbangan antara Timur dan Barat, sekaligus menjalin kerja sama Selatan-Selatan sebagai alternatif ketergantungan geopolitik. Mereka sadar bahwa isolasi total membuat negara sangat rentan menjadi target.
Ketiga, negara harus menjaga ketahanan ekonomi mandiri. Negara dengan ekonomi sepenuhnya tergantung pada sistem keuangan global akan mudah dijerat melalui sanksi, pembekuan aset, dan manipulasi pasar. China, Rusia, dan Iran, meski berbeda pendekatan, sama-sama membangun instrumen keuangan alternatif serta memperkuat produksi dalam negeri untuk menghadapi tekanan eksternal.
Keempat, legitimasi domestik adalah kunci utama. Sebuah negara bisa bertahan dari tekanan global bila pemerintahnya masih memiliki dukungan mayoritas rakyat. Irak jatuh bukan hanya karena invasi, tetapi juga karena legitimasi internalnya sudah terkikis. Sebaliknya, negara yang punya basis loyalitas massa seperti Venezuela dan Suriah, bisa tetap eksis meski dilanda konflik dan embargo.
Kelima, negara harus beradaptasi terhadap perubahan peta kekuatan dunia. Tatanan global saat ini sedang bergerak dari unipolar ke multipolar. Negara-negara yang mampu membaca pergeseran ini dan menyesuaikan posisi geopolitiknya dengan cepat akan lebih mampu bertahan dibanding mereka yang tetap setia pada satu blok hegemonik.
Keenam, ketahanan militer dan pertahanan asimetris juga sangat vital. Iran misalnya, tidak hanya mengandalkan pasukan konvensional tetapi juga memperkuat jaringan proksi dan milisi rakyat seperti Basij yang bisa dikerahkan kapan pun. Pendekatan ini membuat invasi langsung ke Iran menjadi lebih mahal dan berisiko tinggi secara politik bagi lawan.
Ketujuh, penting untuk memainkan diplomasi multiarah. Negara seperti Turki sering memainkan peran ganda dalam konflik internasional, membuka komunikasi dengan Rusia di satu sisi, dan tetap menjaga hubungan strategis dengan NATO di sisi lain. Ini memungkinkan manuver diplomatik yang lebih fleksibel dan menghindarkan dari keterjebakan dalam satu kubu.
Kedelapan, negara perlu membangun keunggulan teknologi dan siber sebagai alat pertahanan. Dunia saat ini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan senjata, tetapi juga oleh siapa yang mampu menguasai ruang digital, enkripsi, komunikasi, dan sistem pengawasan. Negara yang mengandalkan sistem asing yang mudah ditembus akan mudah disabotase dari dalam.
Kesembilan, jangan pernah meremehkan kekuatan budaya. Soft power adalah elemen penting untuk melawan narasi destruktif dari luar. Negara yang bisa menyebarkan identitas budayanya ke luar negeri, seperti Korea Selatan atau Iran, punya daya tahan lebih kuat terhadap delegitimasi global. Mereka bisa menciptakan dukungan diam-diam dari masyarakat global.
Kesepuluh, kesiapan untuk menghadapi skenario perang hibrida harus selalu ada. Negara yang sudah mengantisipasi bahwa serangan bisa datang dalam bentuk cyber attack, sabotase ekonomi, pemberontakan sipil, hingga pembunuhan pejabat, akan lebih siap bertahan. Kewaspadaan terhadap infiltrasi intelijen dan pengkhianatan internal juga sangat krusial.
Sejarah membuktikan bahwa negara yang sepenuhnya percaya pada diplomasi sebagai satu-satunya alat bertahan, sering menjadi korban pertama tatanan dunia baru. Diplomasi tanpa kekuatan pendukung hanya akan berujung pada negosiasi yang tak dihormati dan akhirnya penyerahan tanpa syarat.
Namun sebaliknya, negara yang membangun kapasitas strategis dan adaptif di tengah guncangan global punya peluang besar untuk bertahan, bahkan menjadi aktor penting dalam membentuk tatanan baru. Tidak ada resep tunggal untuk bertahan, tetapi prinsip dasarnya jelas: kedaulatan, ketahanan, dan keluwesan.
Tatanan dunia baru bukan sesuatu yang sepenuhnya bisa dihindari, tetapi bisa dinegosiasikan dengan harga yang lebih adil jika negara itu punya posisi tawar. Negara yang lemah akan diarahkan, tetapi negara yang kuat akan diajak bicara.
Ketika dunia sedang mengalami pergeseran besar, negara-negara harus berhenti berharap pada belas kasih sistem global. Mereka harus membangun kekuatannya sendiri, mengatur narasi sendiri, dan menulis nasibnya sendiri sebelum pihak lain melakukannya untuk mereka.
No comments:
Post a Comment