Generasi TCK Mencari Jati Diri Leluhur

  • Breaking News

    Friday, April 25, 2025

    Syamsuddin As-Sumatrani, Mufti Agung Aceh, Cahaya Ilmu Tasawuf


    Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani adalah figur sentral dalam lanskap intelektual dan spiritual Kesultanan Aceh Darussalam pada masanya. Bukan sekadar seorang alim, beliau menduduki posisi penting sebagai mufti dan penasihat utama Sultan Iskandar Muda, seorang penguasa yang disegani. Keberadaannya di lingkungan istana menunjukkan betapa besar kepercayaan dan penghormatan yang diberikan kerajaan terhadap keilmuan dan kearifannya.

    Catatan dari para penjelajah Eropa yang pernah berinteraksi langsung dengan Syeikh Syamsuddin memberikan perspektif yang menarik tentang pengaruhnya. Frederick de Houtman, dalam bukunya yang mengisahkan pengalamannya di Aceh pada tahun 1603, menggambarkan Syeikh Shamsuddin bin Abdullah As Sumatrany sebagai penasihat agung Sultan Saidil Mukammil. Bahkan, de Houtman mencatat bahwa Syeikh Syamsuddin sempat mengajaknya untuk memeluk agama Islam, sebuah indikasi akan keyakinan dan semangat dakwah beliau.


    Pengaruh Syeikh Syamsuddin dalam struktur kekuasaan Aceh juga diakui oleh Sir James Lancaster, seorang tokoh Inggris yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1602. Dalam catatan perjalanannya, Lancaster menyebut Syeikh Shamsuddin sebagai "a man of great estimation with the king and the peoples," yang berarti seorang pria yang sangat dihormati oleh raja dan rakyat. Lebih lanjut, Lancaster mencatat sebuah percakapan di mana Syeikh Syamsuddin menanyakan alasan yang dapat disampaikan kepada raja untuk mengabulkan permintaan Lancaster, menunjukkan peran aktif beliau sebagai perantara dan penasihat kerajaan.

    Hingga akhir hayatnya, Syeikh Syamsuddin mengemban amanah sebagai seorang Qadhi atau hakim agama di Kesultanan Aceh. Tragisnya, beliau wafat dalam pertempuran melawan penjajah Portugis di Melaka, sebuah akhir yang menunjukkan dedikasi beliau tidak hanya pada ilmu pengetahuan tetapi juga pada pembelaan tanah air.

    Warisan intelektual Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani terabadikan dalam sejumlah karya tulis yang menggunakan bahasa Arab dan bahasa Melayu (Jawi). Karya-karya ini menjadi jendela untuk memahami kedalaman ilmu dan pemikiran beliau dalam berbagai aspek ajaran Islam, terutama tasawuf.

    Salah satu karyanya yang paling komprehensif adalah "Jawhar al-Haqa’iq," sebuah kitab berbahasa Arab setebal 30 halaman yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran mendalam tentang konsep "martabat tujuh" dalam tasawuf dan jalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    Karya lainnya dalam bahasa Arab adalah "Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah." Meskipun hanya terdiri dari delapan halaman, risalah ini memiliki signifikansi penting karena menjelaskan perbedaan pandangan antara kaum yang dianggap menyimpang (mulhid) dengan kaum yang berpegang teguh pada tauhid.

    Dalam bahasa Melayu, Syeikh Syamsuddin menulis "Mir’at al-Mu’minin," sebuah kitab setebal 70 halaman yang menguraikan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab suci, para malaikat, hari akhir, dan takdir. Kandungan kitab ini sejalan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya dalam mazhab Asy'ariah-Sanusiah.

    Kontribusi penting lainnya adalah "Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri," sebuah ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair dari ulama sufi terkenal, Hamzah Fansuri.

    Karya setebal 24 halaman ini menjelaskan konsep "wahdat al-wujud" atau kesatuan wujud, menjadi bukti kuat bahwa Syeikh Syamsuddin adalah penerus dan penyebar aktif ajaran gurunya.

    Beliau juga menulis "Syarah Sya’ir Ikan Tongkol," sebuah ulasan terhadap 48 baris syair Hamzah Fansuri lainnya. Karya berbahasa Melayu setebal 20 halaman ini mengupas tentang konsep Nur Muhammad dan jalan untuk mencapai fana’ (peleburan diri) dalam Allah SWT.

    Karya "Nur al-Daqa’iq" hadir dalam dua versi bahasa, sembilan halaman dalam bahasa Arab dan sembilan belas halaman dalam bahasa Melayu (setelah ditranskripsi oleh AH. Johns pada tahun 1953). Kitab ini membahas rahasia ilmu makrifah, khususnya konsep martabat tujuh.

    "Thariq al-Salikin," sebuah karya berbahasa Melayu setebal 18 halaman, berisi penjelasan tentang berbagai istilah penting dalam tasawuf, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’, dan lain-lain.

    "Mir’at al-Iman" atau dikenal juga sebagai "Kitab Bahr al-Nur" adalah karya berbahasa Melayu setebal 12 halaman yang membahas tentang ma’rifah (pengetahuan spiritual), martabat tujuh, dan hakikat roh.

    Terakhir, "Kitab al-Harakah," sebuah karya ringkas setebal empat halaman, hadir dalam versi bahasa Arab dan Melayu. Kitab ini juga membahas tentang ma’rifah atau konsep martabat tujuh dalam tasawuf.

    Karya-karya Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani menjadi bukti keluasan ilmu dan kedalaman pemikirannya. Beliau tidak hanya seorang ulama yang berpengetahuan luas tetapi juga seorang penulis yang produktif, meninggalkan warisan intelektual yang sangat berharga bagi perkembangan Islam di Nusantara.

    Pengaruhnya sebagai mufti, penasihat sultan, dan guru sufi telah membentuk lanskap spiritual Aceh pada masanya dan terus memberikan inspirasi hingga kini. Keberaniannya hingga akhir hayat dalam membela tanah air juga menambah dimensi kepahlawanan pada sosok ulama yang satu ini.

    No comments:

    Post a Comment


    Galeri

    Ekonomi

    Budaya