Penemuan dalam atlas laut kuno karya Nicholas Vallard tahun 1547 membuka tabir sejarah yang mengejutkan: adanya jejak penduduk dari Pulau Jawa Besar atau Jave la Grande di wilayah yang kini diyakini sebagai pesisir utara Australia. Dalam lukisan tersebut, terlihat sosok-sosok manusia dengan ciri-ciri fisik, pakaian, dan senjata yang sangat khas dengan budaya Indonesia, khususnya dari wilayah Jawa dan sekitarnya. Hal yang paling menarik perhatian adalah beberapa pria mengenakan sorban, simbol umum dalam budaya Islam, yang menandakan kemungkinan mereka adalah penganut agama Islam.
Dalam ilustrasi itu pula tampak seorang pria menunggang kuda dengan pelayan yang memayunginya dari belakang—gambaran seorang bangsawan atau pemimpin lokal. Keberadaan pelayan dengan payung merupakan simbol status yang juga dikenal dalam budaya Asia Tenggara. Senjata yang mereka genggam menyerupai golok, senjata tradisional Indonesia, memperkuat dugaan bahwa mereka bukan pendatang dari wilayah lain, melainkan benar-benar berasal dari kepulauan Nusantara.
Keunikan lukisan itu tidak hanya berhenti pada pakaian dan atribut, tetapi juga mencerminkan arsitektur khas Indonesia berupa rumah panggung dari kayu. Rumah semacam itu sangat lazim di berbagai wilayah Nusantara dan menunjukkan keterkaitan budaya yang tidak terbantahkan. Meski tidak diketahui pasti apakah bangunan itu digunakan sebagai tempat tinggal permanen atau sekadar tempat berteduh, kehadirannya menunjukkan tingkat adaptasi dan kehidupan yang sudah mapan.
Catatan sejarah juga memperkuat dugaan adanya hubungan antara Jawa dan wilayah selatan yang kemudian diasosiasikan dengan Australia. Pedro de Carvalhaes, seorang penjelajah Portugis, mengisahkan kepada Manuel Godinho de Erédia tentang perjalanan seorang bangsawan Jawa bernama Chiaymasiouro ke sebuah negeri yang disebut Luca Antara. Lokasi ini disebut-sebut berada di arah tenggara Jawa, arah yang secara geografis mengarah ke benua Australia.
Bagi Erédia, cerita ini cukup untuk menguatkan keyakinannya bahwa terdapat daratan luas di selatan yang belum sepenuhnya dijelajahi bangsa Eropa. Ia menyebut wilayah itu sebagai India Meridional atau India Selatan, sebuah istilah yang saat itu digunakan untuk menggambarkan daratan di luar batas pengetahuan mereka yang mengarah ke selatan khatulistiwa. Dalam hal ini, Jave la Grande muncul sebagai entitas geografis yang lebih dari sekadar mitos peta kuno.
Menurut catatan Chiaymasiouro pada tahun 1601, sekelompok orang Jawa telah menetap di wilayah yang disebut Luca Antara. Artinya, keterlibatan orang Nusantara dengan Australia sudah terjadi sebelum bangsa Eropa menginjakkan kaki di sana. Mereka bukan hanya berlayar, tetapi juga membentuk komunitas dan membawa serta identitas budaya dan kepercayaannya.
Sayangnya, ketika utusan Erédia mencoba menjelajahi wilayah Luca Antara pada tahun 1610, daerah tersebut tampaknya telah kosong atau ditinggalkan. Tidak ada penjelasan yang pasti mengapa komunitas Jawa tersebut tidak lagi berada di sana. Apakah karena perpindahan, konflik, bencana alam, atau faktor lain, semua masih menjadi misteri sejarah yang belum terpecahkan hingga kini.
Namun begitu, keberadaan komunitas tersebut yang sempat menetap di wilayah itu telah meninggalkan jejak yang tidak bisa diabaikan. Dari simbol pakaian, senjata, arsitektur, hingga tradisi visual yang terekam dalam atlas Vallard, semuanya membentuk gambaran tentang eksistensi awal peradaban Islam di daratan Australia jauh sebelum kedatangan pelaut Eropa.
Fakta bahwa beberapa pria dalam lukisan tersebut mengenakan sorban menjadi petunjuk penting dalam menelusuri keberadaan Muslim Nusantara di Australia. Meski para perempuan dalam lukisan tidak tampak mengenakan penutup kepala, hal ini sejalan dengan realitas sosial Indonesia hingga pertengahan abad ke-20, di mana jilbab belum menjadi kewajiban yang merata bagi Muslimah.
Artinya, keberadaan simbol Islam dalam lukisan tersebut tidak bisa dikesampingkan hanya karena tidak seluruh unsur pakaian sesuai dengan norma masa kini. Yang harus dicermati adalah kontekstualisasi budaya pada masa itu serta adaptasi sosial masyarakat Muslim Jawa yang terbukti mampu menyatu dengan lingkungan barunya.
Interaksi ini mengindikasikan bahwa Islam sebagai agama dan sistem nilai telah ikut berlayar bersama para pelaut dan penjelajah dari Nusantara ke negeri-negeri jauh, termasuk Australia. Ini membuktikan bahwa Islam tidak hanya menyebar lewat jalur daratan atau kerajaan, tetapi juga melalui ekspedisi maritim yang sarat semangat dagang, penyebaran ilmu, dan diplomasi budaya.
Dengan demikian, sejarah kedatangan Islam di Australia tidak bisa semata-mata dimulai dari abad ke-19 seperti yang selama ini diyakini dalam narasi arus utama. Bukti visual dan naratif dari abad ke-16 menunjukkan bahwa telah terjadi kontak Islam lebih awal, dan kontak ini berasal dari Indonesia, bukan dari Timur Tengah ataupun Afrika.
Jejak ini menunjukkan bahwa umat Islam Nusantara memiliki peran besar dalam penjelajahan global jauh sebelum era kolonialisme. Dalam konteks ini, Islam tidak hadir sebagai bentuk pemaksaan, tetapi sebagai bagian dari pertukaran budaya yang harmonis dan saling melengkapi di antara berbagai bangsa pesisir.
Penting untuk mengkaji ulang historiografi kedatangan Islam di Australia dengan mempertimbangkan sudut pandang maritim Nusantara. Sejarah yang dibangun secara euro-sentris harus dilengkapi dengan narasi-narasi dari selatan khatulistiwa yang menyimpan kekayaan informasi alternatif.
Kehadiran orang Jawa di Jave la Grande juga menunjukkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Australia jauh lebih tua dari sekadar interaksi modern antar negara tetangga. Ini adalah warisan peradaban yang perlu dirawat dan diteliti lebih dalam untuk memperkuat pemahaman akan kontribusi Nusantara dalam sejarah maritim dunia.
Dengan semakin terbukanya akses terhadap dokumen dan artefak sejarah, peluang untuk menelusuri kembali jejak Islam awal di Australia semakin besar. Sudah saatnya dunia mengakui bahwa Australia bukan hanya negeri yang ditemukan oleh Barat, tetapi juga pernah menjadi persinggahan dan tempat tinggal bagi Muslim Jawa jauh sebelum masa kolonial.
Jejak-jejak ini, meski samar dan tersisa dalam bentuk lukisan serta catatan kuno, membawa pesan penting bahwa pelayaran Nusantara telah menembus batas yang tak terlihat. Dan bersama mereka, ajaran Islam mengalir tanpa paksaan, menyatu dengan semangat petualangan dan pencarian dunia baru.
No comments:
Post a Comment