Menjelang PD I, kontrol Ottoman ke kelompok Zaidiyah melemah sehingga membuat pemimpin atau salah satu imam saat itu memerdekakan diri menjadi sebuah kerajaan.
Negara ini terus eksis sampai akhirnya demam revolusi Abdel Nasser dari Mesir menumbangkan sang raja terakhir. Kerjaan ini berubah menjadi negara Yaman yang pada akhirnya dikenal sebagai Yaman Utara.
Sementara itu sebuah wilayah kabilah di Aden yang juga tidak sepenuhnya tunduk ke Aden menjalin kerja sama dengan Inggris dan menjadi pangkalan militer bagi kapal-kapal uap Inggris.
Satu persatu kabilah tetangga Aden juga menjalin hubungan dengan Inggris sehingga terbentuk sebuah Federasi Keemiran Arabia Selatan yang urusan tertentu dipercayakan kepada Inggris.
Begitu juga di Hadramaut yang saat itu adalah sebuah keemiran besar Al Katiri yang kemudian para pewaris tahta pecah menjadi banyak keemiran seperti Al Quaiti, Al Katiri, Kesultanan Tarim dan lain sebagainya.
Inggris kemudiaan campur tangan mendamaikan semuanya. Namun Hadramaut tidak ingin bergabung dengan Arabia Selatan dan memilih menjadi protektorat sendiri bersifat konfederasi keemiran.
Di tahun 1960-an kedua entitas ini juga mengalami demam revolusi Abdel Nasser. Inggris memanfaatkan situasi untuk membawa kabur devisa para keemiran itu dengan membuat kerja sama dengan kaum revolusioner.
Para revolusioner itu didorong melakukan aksinya dengan imbal balik, aset keemiran dan kesultanan di Arabia Selatan dan Hadrmaut yang disimpan di Inggris tidak dapat diklaim.
Akhirnya Inggris hengkang dan kaum revolusi menguasai keduanya dan mengubah nama menjadi Yaman Selatan dan pada 90-an bergabung dengan Yaman Utara menjadi satu negara.
Melihat dari proses kelahirannya, Yaman memang adalah kumpulan negara, kesultanan dan keemiran yang berdaulat yang menyatukan diri atau disatukan oleh sebuah tren revolusi.
Sayangnya, Yaman gagal menjadi besar meski para keemiran yang bersatu itu dukunya relatif makmur dan kaya.
Belakangan Yaman malah menjadi negara termiskin bahkan dari UAE, Kuwait, Qatar dan Bahrain tetangganya yang malah baru menjadi sebuah negara di tahun 70-an.
Bahkan negara Oman di Timur Yaman, yang sama tuanya dan punya sejarah panjang, kini dapat disebut menjadi negara makmur meski tak sekaya UAE, Arab Saudi, Kuwait, Qatar dll.
Selama kepemimpinan Presiden Abdullah Saleh yang menyatukan Yaman, diskriminasi malah menjadi pandangan seharian. Yaman Selatan dan Hadramaut menjadi warga kelas dua bahkan tak menikmati pembangunan sedikitpun.
Untung saja keduanya dulunya makmur di era Inggris sehingga masih tersisa sampai sekarang bekasnya.
Paska Houthi menguasai Sanaa, trauma masa lalu kembali menghinggapi benak warga Yaman. Apalagi wilayah kekuasan Houthi saat ini sedikit banyak berbanding lurus dengan wilayah eks Yaman Utara dulu alias mantan Kerajaan Mutawakkiliyah.
Beruntung Presiden Mansour Hadi bisa melarikan diri dan mendirikan pemerintahan di Riyadh dan akhirnya dibantu Saudi dan koalisi.
Jika tidak, Sanaa akan kembali melibas Yaman Selatan dan Hadramauts sebagainana era revolusi Nasser dulu.
Namun saat Hadi melakukan rotasi di pemerintahannya, banyak pejabat dan jenderal dari selatan yang membangkang karena trauma masa Saleh dulu meski Hadi
Salah satu contohnya Gubernur Aden Abdel-Aziz bin Habtour. Tak terima dirinya diganti, malah pindah ke Sanaa dan menjadi Perdana Menteri pemerintahan penyelamat buatan Houthi.
Contoh keduanya adalah Jenderal Aidarous Al Zubaidi. Dipecat dari posisi gubernur pada beberapa periode selanjutnya juga membangkan.
Dia menyatakan perang ke Hadi dengan membentuk Dewan Transisi Selatan atau STC yang menjadi pemerintahan de facto Yaman Selatan walau dia tak menyebutkan demikian.
Dengan dukungan Uni Emirat Arab, dia menguasai Aden dan bertekad akan menggulingakan Hadi. Dia juga menyatakan dengan Partai Al Islam atau Reformasi yang menjadi pendukung utama Hadi dan kadernya menjadi kekuatan utama tentara Yaman yang baru dibentuk usia Houthi berkuasa di Sanaa.
Beruntunglah Arab Saudi dan UAE berhasil mendamaikan keduanya sehingga Al Zubaidi dan pemerintahan de factonya mendapat porsi kursi menteri 50-50
Al Zubaidi juga kini menjadi anggota dewan presidium atau PLC yang diketuai Presiden Rashad Al Alimi usai Hadi mengundurkan diri.
Lalu mengapa dia tetap tak menyembunyikan diri punya rencana untuk memisahkan diri? Bukankah itu separatisme?
Itulah politik Yaman. Tidak ada musuh abadi namun teman kepentingan.
Al Zubaidi menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk menguasai bekas wilayah Yaman Selatan dulu.
Jika misalnya permintaannya tidak direstui presiden, dia akan kembali mainkan kartu untuk memerdekakan Yaman Selatan khususnya yang sudah di bawah kekuasaannya.
Setali tiga uang, anggota PLC lainnya Jenderal Faraj Alimi Bahusni juga diam-diam mempunyai tim buzzer atau dewan transisi bayangan untuk mendirikan kembali mendirikan negara Hadramaut sebagaimana era Inggris dulu.
Namun, posisi Jenderal Bahusni tidak lebih baik dari STC. Dia tak bisa ujuk-ujuk mengancam untuk merdeka karena itu akan membuat STC, PLC dan Houthi menjadi musuhnya.
Tapi, jika STC berani memerdekakan diri di momen yang tepat dia akan membuat bargaining besar kepada STC. Jika tidak, Hadramaut akan merdeka atau memisahkan diri dari STC.
Begitu juga Jenderal Saleh Tumis Pangdam I Lembah Hadramaut berpusat di Seiyun. Di belakah layar dia mulai mengorganisasi pendukung berdirinya kembali negara Al Katiri yang dulunya memang menjado negara bagian terbesra kedua setelah Al Quaiti di Negara Konfederasi Hadramaut era Inggris.
Artinya, jika sampai titik tertentu STC dan Hadramaut berhasil memerdekakan diri maka Negara Al Katiri akan berdiri juga baik sebagai negara bagian di Hadramaut maupun berdaulat penuh.
STC tidak menyukai Pangdam I Lembah Hadramout karena didukung penuh oekh Partai Al Islah yang dituduh Aden sebagai kelompok Ikhwanul Muslimin cabang Mesir.
Bagi Aden, posisi Al Islah adlaah pemberontak karena sering membangkang perintah presiden. Lebih kurang sama dengan kelompok Houthi dan sejenisnya seperti Alqaeda dan ISIS.
Di lain pihak, media pro Al Islah juga menyebut STC sebagai separatis bentukan penjajah Uni Emirat Arab. Posisi Al Islah mirip kelompok Houthi. Bedanya Al Islah menyebut penjajah hanya kepada UAE tapi bukan ke Arab Saudi.
Selain menuduh Al Islah sebagai teroris Ikhwan, STC juga menuduh milisi Al Islah yang menjadi mayoritas dari 300 ribu pasukan pemerintah, berkolusi dengan Houthi dengan menyerahkan atau 'menjual' beberapa wilayah yang dikuasai pemerintah ke kelompok Houthi dengan deal tertentu yang bisa difahami di masa mendatang.
Jika perwakilan Al Islah terdepak semua dari PLC kabinet, salah satunya sudah terdepak diganti Al Zubaidi, maka bukan tidak mungkin di masa mendatang Al Islah akan bekerja sama dengan Houthi membuat pemerintahan persatuan dengan pembagian kursi.
Jika ini terjadi maka kelompok separatis seperti STC, dewan bayangan negara Hadramaut dll akan ditumpas habis. Maka sia-sialah intervensi Arab Saudi, UAE dan koalisi selama ini. Tahun lalu saja, Arab Saudi telah menghabiskan 100 miliar dolar lebih untuk kebutuhan militer melawan Houthi. Itu belum termasuk paket ekonomi. Lalu berapa pengeluaran UAE dan koalisi lainnya?
Pada akhirnya bukan Yaman yang dieksplotasi dari luar, justru para jenderal Yaman lah yang mempermainkan orang luar.
Tapi, pasukan koalisi Arab tidak akan mudah membiarkan STC terpojok begitu aja. Peta kekuatan harus dibuat seimbang untuk menciptakan status quo.
Untuk itulah ada kekuatan Tareq Saleh kemenakan mantan Presiden Abdullah Saleh. Dia berbalik menyerang Houthi usai pamannya ditembak mati.
Saat ini dia didukung UAE dengan 10 ribu pasukan bernama perlawanan nasional. Meski jumlahnya kecil namun eks pasukan elite kepresidenan.
Kombinasi Tareq Saleh dan Al Zubaidi STC bisa imbangi jika Houthi dan Islah rujukan.
Akhirnya akan akan dua pemerintahan juga. Dan mimpi STC untuk merdeka atau memisahkan diri akan tetap sangat sulit diwujudkan.
Strategi ini dibuat AS secara terang-terangan ke Irak era Saddam Hussein.
Membuat Kurdistan sebuah negara otonomi dan seakan suatu saat akan dimerdekakan. Namun sampai 2011, Kurdistan tak kunjung dimerdekakan padahal kursi presiden sudah menjadi jatah Kurdistan.
Dan tahun lalu Kurdistan bahkan sudah melakukan referendum. Hasilnya, 90 persen pemilih setuju merdeka. Namun, tak ada dunia yang mengakuinya, bahkan AS dan koalisi juga tidak.
Hal itu karena Baghdad tak akui referendum itu dan juga tetangganya seperti Iran dan Turki. Beda dengan Kosovo yang diakui berbagai negara oleh beberapa negara berdaulat usai memerdekakan diri dari Serbia.
Kondisi ini mirip dengan Papua dan Uighur.
Jika Indonesia sedapat mungkin tidak bergeming dan tak konfrontasi langsung dengan AS, maka Papua dijamin tidak akan sukses memerdekakan diri.
Tiongkok juga mengerti itu. Tiongkok tak akan berani invasi Taiwan atau berhadapan langsung dengan AS dkk karena itu bisa membuat Uighur dan Tibet merdeka selain Taiwan.
Dengan dibiarkan saja, Taiwan juga tak banyak diakui dunia.
Beda dengan kasus Tiimtim di mana secara emosional Presiden BJ Habibie saat itu bergeming dan menyerah dengan tekanan untuk gelar referendum.
Dan akhirnya itu menjadi legasi Habibie sampai akhir jabatannya walau tak semua pihak lapang dada dengan keputusan itu termasuk kelompok pro-integrasi.
No comments:
Post a Comment